levi’s store
Sebuah “pengalaman” belanja dapat hadir ketika pengunjung merasa menemukan ambience dari ruang dan produk yang dihadapinya. Melalui desain tata cahaya terkonsep—tak sekedar menerangi ruang dan barang—pengalaman itu tercipta.
Di era 1980-an dan 1990-an, desain lighting utamanya lebih fokus pada pencahayaan merchandise (barang yang ditawarkan). Eksistensi produk di suatu toko ditonjolkan melalui penerapan high level lighting tepat menyorot produk yang dipasang. Hal itu dapat kita lihat pada direct lighting dengan spotlight terhadap manekin misalnya. Intensitas cahaya lampu spot yang kontras ketimbang ruang dan obyek sekitar yang dibuat redup, menegaskan figur manekin sebagai aksen.
Sejalan dengan waktu dan perubahan gaya berbelanja, kini pencahayaan merchandise dituntut berkombinasi dengan pencahayaan ruang (space illumination). Bukan sekedar keseimbangan produk dan ruang, lighting terutama ditujukan untuk penciptaan citra ruang. Space illumination tematik untuk memancarkan ambience tertentu pun didesain agar pencahayaan mengejutkan, menggoda, menstimulasi emosi.Penerangan ruang (general lighting) toko hendaknya hadir dalam kuat cahaya tinggi. Citra visual didapat dari tata cahaya pada elemen arsitektur—misal, partisi, drop off, dan back drop—dengan color rendering yang tepat. Elemen-elemen itu sendiri mampu meningkatkan kontras bidang-bidang dalam ruang sehingga ruang tak tampil “kosong” dan datar. Permainan maju-mundur dinding, turun naik ceiling, profil garis, tekstur, warna dan pembayangannya semakin khas ditangkap mata bila diramu dengan pencahayaan dan efek yang tepat. Satu lagi, pencahyaan pada satu elemen besar pengaruhnya pada kesan ruang keseluruhan. Pada dinding akan membuat ruang terasa luas, pada ceiling akan membuatnya terasa tinggi.Perkembangan desain toko dengan permainan elemen (estetis) arsitektur, memudahkan kreatifitas tata letak merchandise. Rak atau showcase bisa diintegrasikan dengan partisi/ dinding. Di sela-sela ruang yang terbentuk antarkeduanya, perangkat lampu dapat diletakkan, dengan armature yang tak terekspos. Karena di luar yang tampak cuma berkas cahaya, maka bidang elemen dan ruang keseluruhan terlihat bersih.
Untuk menciptakan ambience sekaligus tetap berpegang pada fungsi penerangan umum dan merchandise, dibutuhkan aplikasi lebih dari satu spesifikasi. Tak hanya seperti konsep spotlight untuk aksen dan down light untuk umum, melainkan sebuah sistem yang memuat berbagai fungsi.
Upaya senada diungkapkan Benno Salinas F, Lighting Desainer dalam sebuah seminar yang digelar INIAS, “The Silent Sales Person”, beberapa waktu lalu. Dinamisasi/ fleksibilitas sistem lighting yang memprtimbangkan perubahan warna display dan warna barang seiring waktu dan tren, lebih utama menyediakan alternatif konsep pencahayaan yang cukup banyak dengan dana maksimal.
Dinamis dan fleksibel bisa dengan penggunaan multitrack (tidak dengan sirkuit tunggal), dengan memilih spotlight—pada sebuah track atau titik posisi yang pasti—yang arahnya dapat mudah diubah-ubah. Di samping dengan memilih fitting yang dapat dipakai oleh lampu-lampu yang berbeda agar tersedia kebutuhan rendering warna yang berbeda-beda. Sebagai catatan, tingkat rendering warna (color rendering) suatu lampu amat besar pengaruhnya terhadap kualitas visual ambience suatu obyek.
Dijelaskan Benno, sistem kontrol pencahyaan pada satu area perbelanjaan sebaiknya menyediakan 2 alternatif untuk siang dan malam dan mampu menciptakan ambience yang dapat berubah-ubah dengan distribusi dan warna cahaya yang berbeda beda.
Pencahayaan khusus
Shop lighting dijabarkan pula oleh Satria D Mochtan, Lighting Desainer dari Lumina Arsi Dinamika. Di depan peserta INIAS Hospitality Seminar beberap waktu lalu, dengan makalah The Dynamic Design in hospitality Industry-Lighting, Satria mengungkapkan beberapa teknik pencahayaan khusus bagi penciptaan pengalaman visual dan psikologis pengunjung.
Ada teknik highlighting dan silhouetting yang umum digunakan pada merchandise. Highlighting membuat kuat cahaya obyek 5 kali lebih terang dibanding latar belakangnya. Silhouetting menekankan fitur khusus obyek sekaligus menghilangkan glare. Pada manekin, misalnya, satu spotlight yang diinstal agak rendah mendekat ke model menciptakan kontras cahaya sangat kuat, yakni sebagian sisi begitu terang dan sebagian lain berbayang gelap. Sisi high brightness biasa pada sebagian wajah dan bahu model, agar tercipta karakter dominan. Permainan kontras sejalan tujuan atraktif area window sebagai zona letak manekin pada umumnya.
Ada pula teknik backlighting, meletakkan sumber cahaya di belakang obyek untuk performa berkas cahaya impresif dari depan. Teknik ini umumnya digunakan untuk produk-produk kristal. Lain bila cahaya diletakkan dari arah lain, misalnya direct lighting dengan lampu—halogen spots atau fluorescents—dari depan. Arah ini lebih menghasilkan efek refleksi dan ekspos kilap. Kilap (sparkle) lebih keluar dengan halogen spots ketimbang fluorescents. Dengan halogen, bayangan (shadow play) pada latarbelakang pun lebih elegan. Sparkle juga menunjuk pada teknik menciptakan kontras terang pada suatu tempat gelap. Pada area staircase/ tangga misalnya. Tangga merupakan elemen arsitektur yang khas, terlebih dengan konsep mobilitas gerak dari perubahan tinggi dan cepatnya. Dengan permainan lampu pada bagian tangga seperti anak tangga, pengalaman itu lebih atraktif.
Selanjutnya ada aplikasi structural lighting, down lighting, up lighting, dan wall washing yang berperan menciptakan citra elemen ruang, bahkan menguatkan tampilan elemen sebagai aksen ruang. Structural lighting menerapkan indirect lighting pada elemen struktural ekspos, seperti pada rangkaian balok baja di suatu bangunan hi-tech. Cara ini menguatkan fungsi komponen struktur sekaligus elemen arsitektur artistik.
Down lighting umumnya berupa teknik pencahayaan 180º dari langit-langit yang baik untuk penerangan area sirkulasi. Sedang up lighting berupa pencahayaan mengarah ke bidang atas, untuk menonjolkan ceiling atau menguatkan kesan ketinggian. Untuk cahaya pada elemen dinding bisa dengan teknik wall washing. Kegunaannya menonjolkan obyek di dinding, memperjelas karakter fisik dinding sendiri (wujud, tekstur, warna dan semacamnya), dan menciptakan kesan “ruang”.
Enticing light
Selain konsep yang berbasis pada upaya menyajikan “pengalaman” melalui ambience ruang (enticing light), shop lighting diprediksi makin dalam merespons kebutuhan individual (Sjef Cornelissen, International Lighting Review 002: Shop) Seperti munculnya perhatian terhadap eksistensi figur individu dan interaksi antarmereka (humanising light), sampai peran makin dominan atas seluruh proses dan aktifitas dalam ruang retail (light the process)
Di masa depan, kenyamanan, mood dan interaksi pengunjung (khususnya di ruang retail) besar kontribusinya terhadap tren pencahayaan yang makin dinamis, mengkombinasikan beragam spesifikasi terintegrasi, fleksibel dengan sistem kontrol yang mudah. Bahkan melahirkan keberanian konsep light as art seperti gaya pencahayaan orkestra dan semacamnya. Demikian menurut Sjef Cornelissen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar